Aku tidak ingin mengingat kembali pada sekuntum manis janji mengering, yang terhempas dan tak bersemi. Aku akan melupakan dimulai rasa cinta dan sakit karenamu. Inilah aku yang seketika cinta tak mampu melupakan dengan jarak yang sebentar, tak mampu mengganti dengan mudah untuk menetapkan kembali, walau hanya sekedar singgah untuk memulihkan rasa sakit agar terobati, namun rasanya tidak pantas aku melabuhkan hati hanya sebagai sandaran dari rasa sakit. Bagaimanapun aku masih punya hati, dan hati ini hanya satu-satu yang kumiliki, keberadaannya bukanlah untuk dijadikan sebagai permainan yang dime-nangkan
“Ribuan mil aku telah berjalan sendiri, tapi aku tak merasa sepi. Bukan karena ada dirimu, Akan tetapi karena aku berjalan bersama rinduku padamu yang selalu setia menemani”
Pikiranku tentangmu sangat kental menjelang langit gelap dari biru berubah menjadi abu-abu, mendung. Pertanda hujan akan turun dan aku perlu bersiap diri. Bukan untuk membawa payung karena takut kebasahan dihantam guyuran hujan, bukan. Akan tetapi aku harus bersiap untuk diriku sendiri, agar hujan tidak akan membawa hatiku untuk terlelap diam bersama rindu yang menyedihkan.
Kau tau sayang? Ada kebiasaan baru yang sering kulakukan dikala hujan datang. Aku menengadahkan kepalaku agar setiap tetes airnya menghapus ingatanku tentangmu. Aku tidak peduli jika decak-decak hujan meninggalkan rasa pusing di kepalaku, yang aku mau hanya untuk melupakanmu. Terkadang aku merasa konyol sendiri melihat aku saat ini. Kenapa aku harus melupakanmu? Kenapa aku harus begitu bersusah payah hanya untuk tak mengingat nama yang membuatku rindu? Bukankah dulu kau yang selalu mengatakan bahwa aku harus selalu mengingatmu dan merindukanmu? Dan sekarang aku sudah bisa melakukan hal itu, kemudian dengan mudah kau membuatku untuk berhenti mengingat segala hal tentangmu dan terbiasa merindukanmu. Itu tidak lucu sayang.
Aku seperti melangkah kembali kebelakang setelah berlari-lari jauh menujumu. Permainan apa ini? Kenapa aku harus melakukan sesuatu yang pada akhirnya membuatku sakit hati? Kau, kau sendiri yang membuatku jatuh cinta namun kau sendiri yang menjatuhkan cintaku pada setandan duri yang membuatku begitu terluka. Mungkin memang karena itulah kau sangat pantas untuk kulupakan.
Entah ini purnama keberapa untuk hati yang bernanah. Memang terasa seperti diperolok oleh waktu di saat seperti ini. Mungkin karena waktu terlalu senang melihatku yang selalu melepaskan malam, karena ia telah merengkuhku pada segala ingatan yang menghimpit dada. Lalu kenapa masih saja ada rindu padamu? Pergilah segala rindu, kau telah menjamah seluruh waktuku. Karena kau yang membuatku terikat sakit olehnya sampai ke seluruh arteri jantung dan nadiku.
Kau tau? Dalam setiap saat aku mengingatmu, rasanya aku sangat ingin menghentikan napasku. Bukan berputus asa karena telah ditinggalkan olehmu, namun karena sakit ini telah mencabik-cabik hidupku. Dirimu adalah kesakitan yang tidak terobati. Tapi tenang saja, secepatnya aku akan mencari penawar biarpun hanya sekadar untuk menahan nyeri dari rasa sakit ini. Aku tidak akan membuatnya berlarut-larut, mungkin sebagai langkah awal untuk mengobatinya aku akan melupakanmu.
Andai aku bisa membencimu, mungkin rasa sakit itu tidak akan separah saat ini. Tapi aku tidak bisa, aku lebih memilih untuk membenci perasaanku sendiri karena keberadaannya telah melebihi batas-batas yang kumiliki. Rindu yang datangpun sudah tak kupedulikan, aku sangat ingin mensudahi semua ini karena jika perasaan itu tidak juga pergi akan membuat hatiku mati. Duhai waktu, kenapa kau seperti demikian? semua itu hanya akan membuat sakit padaku yang tidak kunjung reda. Lalu aku akan kehilangan cara walau hanya sekedar mencari obat untuk menahan nyeri di dada.
Tetap saja, sejauh usahaku untuk mengusir pergi perasaan dan rindu ini, ingatanku akan selalu merengkuh pada sebuah nama yang dulu menjadi pelantara senyum dan bahagiaku. Kau masih saja membuatku enggan berhenti bercerita atau pun berdoa, kau masih saja menjadi alasan dari setiap hal yang aku lakukan namun saat ini kau pula yang menjadi alasan terbesar untuk kulupakan. Semua itu kulakukan demi kebaikan kita berdua, mari kita pergi menuju pada bagian takdir dari masing-masing.
Sayang, kau harus tahu satu hal. Ketika kita sudah yakin menemukan bagian takdir yang selama ini kita cari, tidak akan mungkin mudah kau tinggal pergi dengan berbagai alasan apapun. Kau pasti akan tetap memperjuangkan dan menjaganya bukan melepaskannya seperti saat sekarang bukan? Baiklah, aku sudah paham.
Aku tidak ingin bernasib seperti cawan terisi kopi yang kau diamkan setelah kehangatanku hilang atau yang setelah kau reguk hingga tiada sisa dengan ringannya aku kau tinggalkan. Jangan kau robek setiap inci masa depanku dengan cinta yang tiada bukti seperti ini, sebab itu akan sangat menyakitkan. Bukan karena ingin dicicipi aku ada dalam hidupmu, tapi untuk kau miliki. Karena untuk menjadi secangkir kopi yang ada dihadapanmu sekarang, kau tak tau apa saja yang telah dia lakukan.
Rasanya aku seperti berjuang di dua jalan, jalan melupakan dan jalan untuk mewujudkan harapan. Sebab saat ini jalan yang ku tempuh keduanya jelas berbeda tidak sama seperti saat dulu, layaknya sedang meniti jalan di dua arus yang maju atau mundur ke belakang. Apa yang harus aku lakukan? ketika harus berjalan di dua arus dalam waktu yang sama? Apa aku bisa? Sampai kapanpun aku tidak akan bisa berjalan baik ke depan atau pun ke belakang. Aku akan kesulitan dan akhirnya aku hanya akan diam ditempat yang sama. Yang harus kulakukan adalah dengan memutuskan untuk memilih salah satu jalan yang akan kau tinggalkan, menunggu karena masih percaya atau melupakan untuk mewujudkan harapan?
Aku tidak ingin mengingat kembali pada sekuntum manis janji mengering, yang terhempas dan tak bersemi. Aku akan melupakan dimulai rasa cinta dan sakit karenamu. Inilah aku yang seketika cinta tak mampu melupakan dengan jarak yang sebentar, tak mampu mengganti dengan mudah untuk menetapkan kembali, walau hanya sekedar singgah untuk memulihkan rasa sakit agar terobati, namun rasanya tidak pantas aku melabuhkan hati hanya sebagai sandaran dari rasa sakit. Bagaimanapun aku masih punya hati, dan hati ini hanya satu-satu yang kumiliki, keberadaannya bukanlah untuk dijadikan sebagai permainan yang dimenangkan.
Ingin rasanya aku bernyanyi bersama elegi risau di beranda langit senja, walau terasa bodoh karena aku telah melekat dengan waktu yang tidak singkat. Kemudian cinta yang didapat adalah kepalsuan yang menjerat dan akhirnya aku menjelma sebagai wanita dengan sendu yang penuh kepiluan. Sebab harapan indah yang pecah menjadi lempengan duri yang menusukku setiap saat.
Katakan apa yang kau mainkan dibelakang layar kala harapanku tumbuh mekar? Apa yang kau lakukan setelah hari-hari jauh kutempuh? Apa kau tak memiliki harapan yang sama, hingga kau tak mampu bertahan untuk mewujudkan impian? Dan apa yang kau lakukan setelah semuanya telah terbongkar? Kau akan menyangkal atau memberi jawaban kebohongan? Apa harus kukatakan kau telah berhasil membuat hari-hari terburukku bangkit setelah kau tinggalkan, apa kau tak sadar bahwa ada orang yang sungguh mencintaimu? Terkadang aku berpikir bahwa cintamu adalah sebuah hipnotis namun ada yang berbeda sebab setelah kau pergi bukannya sadar seperti semula malah ada luka menghujam hati hingga kronis seperti ini.
Lantas, untuk apa aku menunggu selama ini? menetap bersama rindu dan harapan indah untuk kita wujudkan bersama? Semuanya jelas sudah tidak ada. Kupikir awalanya kau adalah tujuan. Ya… Kau adalah tujuan, tujuan yang menjadi ujung dari perjalanan panjang yang melelahkan ini. Dan segala pengorbanan yang kulakukan kupikir adalah jalan untuk mempermudah. Namun pada akhirnya kutemui kenyataan yang sebenarnya, kini setiap harapan yang kutaruh di pundakmu telah menjadi debu, doa yang membasahi kedua mulutku telah menjadi abu dan rindu yang menghias hari-hariku telah menjadi asap yang tidak akan lagi bisa kau sentuh. Karena semua hal indah yang kau tanam hingga tumbuh dan meranumi seisi jiwaku telah rubuh, telah kau hancurkan, kau jatuhhkan dan kau patahkan. Kau bukanlah tujuan.
Awalnya aku sempat melemah dan menyerah pada hati yang bersimbah darah karena kedua kakiku seakan tak ingin kembali melangkah. Aku seakan dikelilingi duri dari altar cinta yang kau beri. Hari-hariku seakan tumpah di lengkung durja yang merayap memeluk hati yang sedang terluka, rasanya setiap detik yang kujalani seperti membakar urat nadi ini yang akhir-nya membuatku mati.
Aku hanya akan tersenyum jika suatu hari kita bertamu lagi, jangan tanya aku berdiam sebab kedua bibir ini sudah kelu jika harus berbicara denganmu. Aku memang seakan kehilangan daya, namun aku tak akan berhenti untuk tetap percaya bahwa suatu hari nanti hal yang menyakiti akan diganti dan kebahagian itu akan kumiliki.
Aku tidak akan membawa luka ini hingga mati, untuk apa mendekap sesuatu yang membuat kita sakit hati. Menyimpannya adalah kebodohan karena jika luka itu menetap akan menjadi penghalang untuk menatap masa depan. Hidupku masih panjang. Masih banyak hal yang harus kulakukan. Aku tidak ingin hari-hariku dihujani masa lalu lagi.
Pada akhirnya aku memahami satu hal, sebuah perasaan tidak ada yang mampu mengatur selain Tuhan. Perasaan memang seperti hujan yang turun bukan? Tidak ada yang bisa mengatur kedatangan, kepergiaan hingga berapa lama ia akan tinggal. Iya,,, walau pun terkadang aku berpikir bahwa cintaku seperti hujan, sekalipun aku menolak padamu ia akan datang.
***
“Aku tidak ingin bernasib seperti cawan terisi kopi yang kau diamkan setelah kehangatanku hilang atau yang setelah kau reguk hingga tiada sisa dengan ringannya aku kau tinggalkan. Jangan kau robek setiap inci masa depanku dengan cinta yang tiada bukti seperti ini, sebab itu akan sangat menyakitkan. Bukan karena ingin dicicipi aku ada dalam hidupmu, tapi aku ada untuk kau miliki. Karena untuk menjadi secangkir kopi yang ada dihadapanmu sekarang, kau tak tau apa saja yang telah dia lakukan”